Perang Rudal Iran – Israel: Ternyata Dunia Secanggih Itu, Oleh : jaz/arif
Perang Rudal Iran – Israel: Ternyata Dunia Secanggih Itu. Oleh : jaz/arifSaya terdiam ! menatap layar HP, menyaksikan rudal Iran melesat di langit, lalu sistem pertahanan Israel bereaksi dalam hitungan detik. Teknologi mereka luar biasa. Drone, radar, AI — semua bekerja akurat dan tanpa ragu. Di situ saya merasa seperti manusia purba yang baru keluar goa, menatap kilatan cahaya di langit, bingung apakah itu keajaiban atau ancaman. Dunia sudah secanggih itu, dan saya hanya bisa plonga-plongo.
Saya mulai berpikir: bagaimana Iran bisa? Negara yang belasan tahun dihimpit sanksi internasional, justru melesat lewat riset dan inovasi. Mereka mengandalkan pendidikan sains sebagai jalan keluar. Mereka sadar, tekanan hanya bisa dilawan dengan otak. Maka STEM (sains, teknologi, teknik, matematika) jadi senjata, bukan sekadar mata pelajaran.
Lalu lihat Israel. Negara kecil, dikelilingi musuh, tapi menjelma jadi raksasa teknologi. Mereka tidak hanya bangun sekolah, tapi menciptakan ekosistem inovasi. Sejak SD, anak-anak dilatih berpikir logis, memecahkan masalah, belajar coding. Ilmu bukan disucikan dalam upacara, tapi dimatangkan dalam riset dan kolaborasi. Negara itu hidup karena pikirannya, bukan hanya pertahanannya.
Kemudian saya menoleh ke negeri sendiri. Di saat negara lain sibuk mencetak ilmuwan dan insinyur, kita justru sibuk merayakan kelulusan SMA dengan seremoni yang kadang lebih mahal dari substansinya. Coret-coret baju, konvoi liar, panggung toga, banner raksasa—semua dirayakan seolah jadi akhir perjalanan. Padahal berpikir pun mungkin belum dimulai. Sekolah kita cenderung lebih sibuk menjaga formalitas ketimbang mengasah isi kepala.
Namun menyalahkan sekolah saja tidak adil. Karena akar masalahnya ada pada cara negara ini memperlakukan pendidikan — setengah hati, ragu-ragu, dan cenderung takut jika rakyatnya berpikir terlalu bebas. Kita gamang: mau mencetak warga yang patuh atau yang kritis? Akibatnya, pendidikan jadi proyek setengah hati. Fisika dijadikan hafalan. Biologi dijauhkan dari rasa ingin tahu. Sains ditakuti, bukan dijelajahi. Kreativitas dibatasi oleh aturan, bukan didorong oleh visi.
Dan selama kita terus membiarkan ketakutan itu menang, kita hanya akan jadi penonton. Penonton dunia yang berubah cepat. Dunia yang tak lagi menilai seragam, ijazah, atau ranking. Dunia yang hanya peduli: apa yang bisa kamu ciptakan. Saya hanya bisa terdiam—seperti warga Jogja pada pagi 19 Desember 1948, yang mengira suara pesawat dan tentara adalah latihan militer TNI. Padahal itu adalah Agresi Militer Belanda II. Mereka baru sadar ketika semuanya sudah telanjur hancur. Saya takut, kita pun akan mengalami hal yang sama: tersadar ketika semuanya sudah terlambat, dan satu-satunya yang bisa kita lakukan hanyalah menyalahkan keadaan.
Apalagi jika kita melihat kekayaan kita — bukan hanya manusia, tapi juga alam. Indonesia menyimpan cadangan nikel, emas, dan bahan tambang strategis yang jadi rebutan global. Hari ini kita mungkin masih bisa menolak eksploitasi. Tapi kalau kita tak siap secara teknologi, pendidikan, dan kedaulatan berpikir, jangan heran jika suatu saat penolakan kita dijawab dengan tekanan. Diplomasi yang membungkus ancaman. Investasi yang menyamarkan penaklukan. Sejarah telah membuktikan: bangsa yang kaya, tapi bodoh, hanya akan jadi ladang panen bagi bangsa lain.
Posting Komentar