News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Diruangan Itu Saya Melihat Indonesia

Diruangan Itu Saya Melihat Indonesia


Di ruangan sempit itu, di hadapan dua penyidik dan kursi merah yang tampak biasa, duduk seorang lelaki yang tidak biasa. Berkemeja batik, bersahaja. 

Kepalanya tertunduk tenang, seolah sedang merenungkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pertanyaan hukum: tentang siapa yang sebenarnya sedang diadili.
 
Dia akrab dipanggil Jokowi. Walikota, Gubernur, juga Presiden dua periode. Kini ia berada dalam posisi sulit akibat tuduhan yang bahkan tak pantas disebut gugatan — selain motif absurd yang dibungkus dalam narasi hukum.
 
Saya melihat foto itu dan hati saya bergetar. Terlalu berlebihan? Saya tak peduli. Saya merasa getir pada cara-cara yang mengingkari rasa hormat.
 
Apakah semua jalan tol, bendungan, bandara, rel kereta, dan rumah sakit yang berdiri karena tekadnya tidak cukup berarti? Apakah semua malam panjang tanpa tidur, tangan yang menggenggam tangan rakyat di tengah bencana, dan keberaniannya menembus ruang-ruang yang sebelumnya tabu, tidak cukup dihargai?
 
Apakah benar semua itu gugur hanya karena satu tuduhan absurd tentang ijazah? Kita mungkin tidak selalu sepakat dengan semua keputusan Jokowi. Namun, di negeri yang sedang kehilangan figur teladan, seharusnya kita masih tahu cara menghormati yang pernah banyak memberi.
 
Yang kini merendah bukan karena kalah, tetapi karena memahami bahwa kekuasaan sejati adalah tidak membalas dengan cara yang sama brutalnya.
 
Di ruangan itu, ia duduk diam, tetapi gagah. Kehormatan sejati tidak dibangun dari pembelaan, tetapi dari keikhlasan menghadapi tuduhan. Orang-orang yang menuduhnya mungkin lupa bahwa dalam kisah Malin Kundang, yang kualat bukanlah yang diam, melainkan yang mengingkari ibu.

Dalam kisah ini, negeri adalah ibunya. Mereka yang mencaci Jokowi tidak sadar bahwa mereka sedang memukul wajah Indonesia sendiri.
 
Saya percaya, sejarah tidak buta. Ia mencatat yang diam dalam martabat dan mengungkap yang berteriak dalam kebencian dan kedegilan.
 
Kelak, kita semua akan melihat dan membaca ulang foto ini bukan sebagai berita investigasi, tetapi sebagai potret luka bangsa yang sempat lupa cara mencintai pemimpinnya sendiri. Potret cacat bangsa yang memperlakukan pemimpinnya dengan cara paling tidak senonoh.
 
Saat itu tiba, kita akan tahu bahwa mereka yang dihina karena pengabdian adalah mereka yang paling dicintai waktu. Saat itu tiba, kita akan tahu 𝗣𝗮𝗿𝗮 𝗠𝗮𝗹𝗶𝗻 𝗞𝘂𝗻𝗱𝗮𝗻𝗴 𝗶𝘁𝘂 𝘀𝘂𝗱𝗮𝗵 𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗯𝗮𝘁𝘂. (Er)
 
 
 

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Posting Komentar